Oleh Malim Ghozali PK
Mingguan Malaysia 27 12 2007
PADA tempat-tempatnya tengik longkang tersumbat mampu juga menumpaskan bau keretek yang memberat di udara pagi yang lembap. Sejak dulu longkang-longkang di situ tidak pernah lancar arusnya. Ada saja yang menyekat. Sampah, bangkai ayam, sayuran busuk yang dicampakkan oleh peniaga-peniaga di pasar basah yang berlintang kalang dan lampin-lampin wanita tersangkut di longkang, menggambarkan suasana yang menghampiri entropi.
Pernah mayat manusia tertampan di longkang itu. Ia membuatkan orang di sekitar longkang geger seketika. Hanya seketika. Denyut kehidupan lebih penting dari kematian. Ayuhlah, cepat lupakan. Meski di sini ada sejarah yang panjang, terbina dari keringat saudagar-saudagar tempatan atau mendatang, longkang-longkang tetap kotor dan hanyir. Tetap longkang. Ya, cubalah cicip kehidupan sebagai penulis!
Di wilayah busuk inilah tikus-tikus dan para gelandangan membina istana, walau mereka tahu ilusi itu tidak kekal. Semua pasti hangus dan menjadi hitam, seperti hitamnya air longkang. Pandanglah dari sudut mana saja yang kalian suka, paradoks tetap paradoks, begitu pernah dinukilkan oleh seorang penyair yang tumpang kencing di longkang. Pedulikan. Semua memang kencing di longkang, sama ada orang atau binatang, bintang atau jalang, penyanyi atau petualang. Kalau longkang sudah tepu, bolehlah kencing di Chow Kit Road.
Di sini syurga sang tikus dan syurga para gelandangan bertemu, walau di dalam mimpi dini hari. Akhirnya ia terendam di tengah air longkang yang pekat dan kelam.
Sangat jelas pemain-pemain di sini sudah bertukar. Pemain-pemain lama sudah pencen. Atau meminjam seni kata Almarhum Sudirman – ‘balik kampung’. Mula-mula ramai Abang Dolah, Kak Yam, Syed Nontak, ane Ratnam, Ah Seng dan Kam Chong. Sekarang senario sudah banyak berubah. Tempat mereka sudah diambil alih oleh Sutinah, Wak Parjo, Superman, Sutikno dan Hendrik Budiman. Samalah, mereka juga pemain-pemain di jalan yang dibibiri longkang-longkang yang menjijikkan. Mujur bau keretek dapat membunuh rasa loya. Sama ada yang berpenapis atau tidak, bau cengkih mengertup, membakar tembakau lalu mengapungkan semacam aroma musim panen.
- Bapak dari mana?
- Malim Nawar.
(Eh, kenapa aku pulak yang ditanya dari mana?)
- Kamu?
(Kamu yang datang entah dari mana-mana!)
- Jawa Timur. Banyuwangi. Desanya, Teluk Ketapang.
- Kerja di sini?
- N‘ggak...cuman bisnis kecil-kecilan...
- Bisnes?
- Ya, ejen...
- Ejen?
- Apa-apa saja...di sini, di jalan ini, apa-apa pun boleh...
(Celaka! Kamu sudah menambahkan kotoran longkang di jalan ini!)
- Masuk sebagai businessman?
- N‘ggak Pak...biasalah...
- Pas lawatan sosial?
- Iya Pak...tapi itu kan cuman peraturan...?
(Apa, peraturan bukan untuk diikuti? Hei Mat Indon, ini bukan peraturan terpimpin, tau!)
- Kamu tau ini bukan menteng, kan?
- Oo...bapak sudah ke sana rupanya... menteng sungai besar...maksud saya sungai kehidupan yang besar...ia bisa mengangkut dan menelan apa saja...
- Longkang besar!
- Longkang besar? N‘ggak ngerti saya. Tapi kalau longkang sebesar seperti Chow Kit Road, ia bisa menyembunyikan apa saja...
- Habis, kamu sekarang tinggal lebih masa? Apa kamu tidak takut ditangkap polis atau imigrasi?
- Saya punya kad merah, Pak...
- Pekat sangat loghat Indon kamu. Dah berapa tahun tinggal di sini?
- Lapan bulan.
- Lapan bulan dah dapat kad pengenalan merah?
- Nomor dua, Pak.
- Ooo...
(Agaknya Chow Kit Road sememangnya longkang besar yang melahap dan menyembunyikan apa saja. Betul juga kata Mat Indon ni. Kalau Jakarta ada Menteng, Singapura ada Sungai Road, Bangkok ada Pat Pong, Kuala Lumpur tentulah perlukan Chow Kit Road. Semuanya sungai kehidupan....Yang bener mas...)
Chow Kit Road seperti membangunkan sebuah delta besar yang meliputi Jalan Tuanku Abdul Rahman serta lorong-lorongnya, Jalan Raja Alang, Jalan Raja Laut, Lengkok Raja Laut, Lorong Haji Taib serta lorong-lorongnya yang berselirat, Lorong Kampung Periuk dan pangkal Jalan Ipoh. Ia mengingatkan aura sawah yang tersangat lebar, yang terbina dari siratan sungai-sungai yang menjunjung sunnatullah. Mewah hasil mahsulnya.
Musim panen? Di Chow Kit Road?
Tentulah. Di sini orang menuai setiap hari. Usah hiraukan yang tewas dan lari. Setiap hari ada saja pencuba nasib yang baru ke sini. Merekalah yang harus diambil kira. Ada pedagang dan ada juga penjual temberang. Di sini, kalau kena strateginya, temberang juga ada pembelinya. Pokoknya di sini terlalu ramai orang yang bersedia untuk ditemberang. Saban hari ada ribuan pengembara dari desa yang baru pertama kali menjejakkan kaki di ibu kota. Dan mereka mencari Chow Kit Road. Di sini semua ada, dan semuanya murah, kalau kena caranya.
Namakan ia apa saja – longkang, delta atau pentas.
(Ingat pentas skylift Almarhum Sudirman Haji Arshad?)
Semua memerlukan pemain-pemain. Chow Kit Road bukan calang-calang pentas. Hanya yang berani dan berpengalaman saja yang mampu meraih kemenangan. (Kata Mat Indon malam nanti dia akan buktikan). Yang takut dan pengecut tidak ada tempat di longkang besar ini. Di sini keberanian luar biasa amat diperlukan.
- Kamu tentu orang berani...
- Berani saja belun cukup Pak...
- Masa?
- Perancangan dan ketekunan. Nah, itu pokoknya!
- Ooo...
(Aku memang bukan peniaga. Cuman cerpenis sengkek yang singgah minum cendol di tepi longkang. Ah, kok cepat bener ngomong bahasa Chow Kit Road?).
Kalau boleh mahu saja dia mengandaikan wilayah ini sebagai sebuah lautan, yang sudah tentu ada pasang surutnya. Lautan kehidupan. Ia mampu menelan apa saja. Ia juga sering kali membawakan harapan-harapan baru ke pantai, walau harapan-harapan itu selalunya tak lebih buih-buih yang dioleng semula ke tengah samudera.
Rupanya malam juga cantik di sini, walau tidak seindah dan seaman di kampung. Di sana gemersik angin di daun bambu seolah menggesekkan C Natural, mengiringi sang pungguk menyanyikan lagu rindunya untuk bulan. Tapi di sini limpahan cahaya dari jutaan neon membuatkan seluruh wilayah seakan mahu disuluh dan ditelanjangkan. Longkang- longkang dan orang-orang. Dengan latar deru enjin kereta, lori dan bas serta segala macam hiruk-pikuk, tentu sekali berhasil menobatkan Chow Kit Road dan longkang-longkangnya sebagai kota di dalam kota.
Sungguh istimewa, kau!
Janji Mat Indon tepat. Lagipun Mat yang seorang ini bukannya PATI. Dia ada gaya. Lagi- pun bukankah dia seorang ejen?
Dia datang dengan seorang wanita awal dua puluhan, berkulit sawo matang, bermata galak dan cukup pemurah dengan senyuman. Ada kamera jenama tersohor tersendeng di tengkuk dan celah ketiaknya. Dia kelihatan seperti datang dari keluarga orang berada. Maklum, gerak dan lagak orang berada selalunya ada sedikit kelainan.
Tapi kenapa harus berada di lorong ini?
- Kenalkan, Pak...Yanti. Nama paspornya Heryanti.
- Kamu ejennya?
- Jangan gitu Pak...dia pelajar tahun akhir di kolej swasta...kami cuman kenalan...
- Oo, maaf...Belajar apa ya?
Mat Indon mengalihkan pandangan ke arah Yanti, seolah memintanya menerangkan sendiri.
- Kewartawanan Pak...Kalau Mas yang bawa saya mutar-mutar di sini, saya rasa selamat. Orang-orang kenal dia...mau motret pun tak genter...
- Di Belakang Mati?
Yanti tunduk tersipu. Dia tahu stigma yang tertancap di lorong suram itu. Semua orang Kuala Lumpur tahu setiap gelandangan dan kalangan jembel ada di situ. Lihatlah di kaki- kaki lima. Mereka berbaringan tanpa mempedulikan apa-apa lagi. Meski ramai yang menari dan menyanyi dengan irama yang tersendiri, dengan kepala yang terhangguk- hangguk, ada juga yang menangis tidak henti-henti. Seorang lelaki bersongkok putih yang sejak tadi berteriak menjajakan pil-pil pengeras anu mengangkat tangan kepada Mat Indon, sebaik mereka melintasinya.
- Kenal?
- Iya. Pak Zahir. Dia dari utara dan masih bujang. Dia senior di sini...sudah lebih tiga puluh tahun...Ungkapannya sudah terkenal di lorong ini...
- Apa?
- “Beli satu percuma satu, belum cuba belum tahu, beli sekarang, cuba sebelum siang!"
Dia terfikir, alangkah hebatnya pak Zahir. Tiga puluh tahun meneriakkan ungkapan yang sama, di lorong yang sama. Tentu calon yang baik untuk disenaraikan di dalam Guinness Book Of Records!
Ah, seperti setiap langkah di lorong itu akan ada sebuah cerita, baik yang lama maupun yang baru. Belakang Mati rupanya berdenyut dan berdetak, segar dan mendebarkan.
(Kata Mat Indon Belakang Mati tidak pernah mati)
Dia sudah diperingatkan oleh Mat Indon supaya hati-hati ketika menyusuri lorong. Sang pencopet sudah lama menjadikan sudut itu sebagai pusat latihan mereka. Penjualan pil-pil psikotropik, viagra tiruan, pengeras anu dan cakera padat seks tentulah tidak lengkap tanpa para sundal yang menawarkan perkhidmatan mereka secara terbuka. Bermacam warna kulit dan beraneka bentuk tubuh – yang tinggi, yang pendek, yang kurus dan gemuk mundar-mandir di lorong ini. Ada juga yang menanti di muka-muka pintu rumah-rumah tumpangan kecil yang biasanya ditandai sebiji mentol berwarna merah. Tidak perlu sewa bilik semalaman. Boleh bayar ikut jam. Lagipun bukannya lama benar proses menguji ubat pengeras anu Pak Zahir.
Pilihlah!
Di sini siapa yang pedulikan tentang penyakit? Ini Chow Kit Road!
- Hati-hati dengan mak nyah, Pak...
- Jangan benarkan mereka memeluk...
- Itu kan tugas mereka?
- Jari-jemari mereka tersangat pantas... sedar-sedar dompet sudah terbang!
Dan Yanti pelajar kewartawanan memilih daerah ini?
- Tak... ah... maksud saya di Chow Kit Road. Di daerah ini banyak yang boleh dilihat dan ditulis. Saya bercadang menyelesaikan tesis dengan menggunakan bahan di sini.
- Chow Kit Road?
Hmnn...
Sepatah kata Mat Indon, lorong belakang yang dikatakan ‘mati’ itu sebenarnya tidak pernah mati. Persis kedai mamak, ia sibuk dua puluh empat jam. Ia adalah contoh dinamika kehidupan itu sendiri. Ada seribu satu macam kisah di lorong ini – dari cerita langit ketujuh, kain cindai dan buluh perindu yang turun dari pusat tasik pauh janggi dan dakwaan mengenai artis-artis yang berjejal ke rumah sang bomoh meminta diturunkan ilmu pelaris. Boleh cari apa saja di sini – dari cop imigresen bagi menyahihkan kemasukan ke negara ini (pilih saja pintu masuk), pisau rambo atau tongkat Sukarno.
Tiga empat orang lelaki Afrika bertubuh sasa menyelinap masuk ke hotel murah ikut pintu belakang. Salah seorang dari mereka mempunyai ketinggian melebihi enam kaki. Apa pun kesemua mereka layak bertarung di dalam kategori heavy weight WBC.
Ini lorong kehidupan yang mengalirkan madu, darah dan nanah. Peduli apa dengan warga dan bangsa! Peduli apa sama ada kamu warga Vietnam, Myanmar, Kazakhstan, Rusia, Filipina, Thailand atau Kampuchea!
Ini Chow Kit Road!
Dia yang berjalan beberapa tapak di hadapan tersentak sedikit ketika laungan dagangan yang sama sekali asing dengan lorong itu mengatasi gelombang celoteh penjual- penjual ubat anu dan bomoh-bomoh artis.
Kitab, kitab! Riadus Salihin, Nurul Huda, Najmul Huda, Qamar Huda, Sayap-sayap Jibril!!
Masaalahtul Subian, Matla‘il Badrin, Rahsia Wajah Suci Ilahi, kitab penawar hati...
Yaa Siin... Yaa Siin...!!
Mahu tidak mahu, dia mematikan langkah dan berpaling ke belakang. Seorang lelaki muda berketayap putih dan berjanggut sekompot tekun dengan dagangannya, tanpa mempedulikan prospek dagangannya terjual atau pun tidak. Dia hanya tersenyum melihat lelaki muda itu. Dia tahu semua nilai ada nilai lawannya.
- Siapa?
Dia mengajukan pertanyaan kepada Mat Idon.
- Kurang periksa Pak. Belum pernah saya lihat dia di sini.
Sebelum meninggalkan belakang mati dia mendongak ke langit. Ada sebutir bintang berkedip dengan galak di langit yang hitam.
Pagi ini longkang besar agak tepu. Ada hujan turun sebelum subuh.
Dia sudah menjelajahi belakang mati yang ‘hidup’ semalam. Dia setuju dengan pendapat Mat Indon. Keberanian yang luar biasa diperlukan untuk hidup di Chow Kit Road. Cahaya subuh baru saja tercalit di dinding langit. Hei mamak sup ayam, kamu tidak perlu bangunkan Chow Kit Road. Ia tidak pernah tidur!
Suara peniaga-peniaga di pasar basah dan bunyi kereta-kereta, van-van, motosikal dan skuter serta lori-lori menjadikan suasana kelam-kabut semula. Dua tiga buah lori DBI yang diletak di kepala simpang memburukkan lagi keadaan. Sudah agak lama lori-lori tersebut berada di situ. Pemandu-pemandu dan pegawai-pegawai penguat kuasa masih belum keluar dari kedai mamak.
Jeritan peniaga-peniaga salak Bali bertingkah dengan laungan Kromosetiko, penjual keropok lekor (panggilan di sini, Abang Mos saja), bisikan penjual-penjual Omega dan Rolex tiruan dan penjual-penjual ubat penegang saraf anu. Ada juga yang memekikkan jenama salak dan ubi kemili dari Terengganu. Tapi dari telonya ternyata bukan lagi suara abang Kasim, Pandak Hasan atau Kak Limah dan Kak Yun. Namun semua akhirnya berhimpun ke tengah jalan raya ternganga, yang menunggu untuk menerkam dan menelan apa dan siapa saja. Mat Indon muncul lagi. Kali ini lebih kemas dari semalam.
- Hei Mat, sebenarnya kamu ejen apa, hah?
- Maaf Pak, saya sudah berbohong semalam...sebenernya mantan ejen...
- Habis sekarang?
- Saya penulis Pak....
- Penulis? Yang bener ni....?
- Iya Pak...novelis kecil-kecilan.... Sedang menyiapkan novel ketiga....Chow Kit Road...
Pagi limun tetap menghantarkan kesejukan. Menggigit dalam diam. Entah kenapa bau keretek agak tipis dan seluruh wilayah kini dikuasai sepenuhnya oleh bau yang bangkit dari longkang.
- Sudah azan Pak...ayuh kita ke masjid dulu...
- Masjid Pakistan?
- Tak, masjid di Raja Alang.
Spontan dia menyambut anjuran itu, seperti ada yang mengarahkannya.
- Ayuhlah.
- Err, tapi kamu... siapa ya...?
Dia tersenyum sendirian. Di wilayah ini apa ada pada nama.
Persetan!
Ini Chow Kit Road, sudilah mampir!
1 comment:
Menarik cerpen ini. Pengamatannya teliti mengenai kisah kehidupan.
Jikalau ada lagi, saya akan membacanya ...
Post a Comment